Di Balik Ambisi Kim Jong-un Luncurkan Rudal Saat Pandemi



Bermediasi- Korea Utara dilaporkan telah meluncurkan 10 rudal sejak 2 Maret 2020. Para ahli percaya, Kim Jong-un mengambil keuntungan dari distraksi akibat pandemi COVID-19. Negeri pertapa itu merupakan salah satu dari 15 negara yang masih belum melaporkan kasus infeksi virus corona baru.

Saat dunia berjuang melawan pandemi COVID-19, Korea Utara menunjukkan periode pengujian rudal tersibuk, sambil bersikeras telah mengendalikan ancaman wabah di dalam negeri. Korea Utara baru saja meluncurkan apa yang diyakini sebagai beberapa rudal jelajah jarak pendek ke laut antara Semenanjung Korea dan Jepang, menurut Kepala Staf Gabungan Korea Selatan.

Uji coba terbaru itu diluncurkan setelah sembilan peluncuran rudal di empat momen terpisah pada Maret 2020, yang menjadi jumlah peluncuran tertinggi dalam satu bulan yang pernah tercatat.

Korea Utara juga merupakan salah satu dari 15 negara di seluruh dunia yang masih mengklaim tidak tersentuh oleh virus corona COVID-19. Pandemi itu kini telah menewaskan sekitar 120.000 jiwa dan menginfeksi sekitar 1,9 juta orang, menurut data dari Universitas Johns Hopkins.

Meskipun demikian, partai yang berkuasa di Korea Utara mengatakan pandemi telah menciptakan hambatan untuk upaya “pembangunan ekonomi”. Mereka menyerukan langkah-langkah penanganan wabah yang lebih kuat selama pertemuan Biro Politik Komite Sentral Komite Buruh Partai Korea pada Sabtu (11/4).

Namun, para ahli khawatir, sistem kesehatan negara itu tidak cukup lengkap untuk memerangi wabah setelah berpuluh-puluh tahun terkucilkan dan dihantam sanksi internasional. Mereka juga merasa skeptis dengan status bebas infeksi virus corona baru di Korea Utara.

Jadi, mengapa Korea Utara justru meningkatkan pengujian rudal sekarang? Tidakkah seharusnya Korut memfokuskan upaya untuk mencegah pandemi? Apa kelanjutan dari hadiah Natal yang dijanjikan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump?

MENGAPA KOREA UTARA UJI RUDAL SEKARANG?

Orang-orang di Seoul menonton siaran TV pada 31 Oktober yang memperlihatkan rekaman file untuk laporan berita tentang Korea Utara yang menembakkan rudal ke laut antara Semenanjung Korea dan Jepang. (Foto: Reuters/Heo Ran)

Serangkaian terbaru peluncuran rudal Korea Utara dimulai pada 2 Maret, yang juga menandai peluncuran pertama sejak November 2019. Ankit Panda, penulis Kim Jong-un and The Bomb, mencatat peluncuran rudal baru-baru ini sebagian besar adalah rudal balistik jarak dekat KN-25 yang setidaknya menurut media pemerintah tidak dimaksudkan untuk “peran nuklir secara eksplisit”.

Setelah uji coba rudal pada 2 Maret, beberapa negara Eropa termasuk Prancis, Jerman dan Inggris mengecam Korea Utara karena merusak perdamaian regional dan internasional serta melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB.

Militer Korea Selatan juga mengutuk demonstrasi militer Korea Utara pada 21 Maret sebagai tindakan yang “sangat tidak pantas”, terutama karena dunia sedang berjuang untuk mengatasi pandemi.

“Dengan pengecualian peluncuran KN-24 (pada 21 Maret), sistem KN-25 tampaknya menjalani periode pengujian operasional yang cepat sebagai lawan dari pengujian pengembangan,” Panda baru-baru ini menulis. “Korea Utara, dengan kata lain, membuat kru darat terbiasa mengoperasikan sistem ini melalui peristiwa-peristiwa yang mungkin digambarkan sebagai latihan militer alih-alih sebagai ‘uji coba’.”

Namun, para pengamat Korea Utara percaya, gelombang aktivitas rudal adalah langkah yang diperhitungkan oleh Kim untuk menyampaikan pesan domestik dan internasional.

Zhiqun Zhu, profesor ilmu politik di Universitas Bucknell, mengatakan kepada ABC, pemilihan waktunya “pasti disengaja” karena setiap negara termasuk Amerika Serikat, China, Korea Selatan, dan Jepang sibuk memerangi virus corona baru dan “hampir tidak punya waktu untuk berurusan dengan orang asing besar masalah kebijakan mana pun.”

“Jadi Korea Utara dapat dengan mudah menghindari kecaman atau sanksi internasional terkoordinasi sekarang. Di dalam negeri, pihaknya berharap untuk terus meningkatkan nasionalisme dan menunjukkan kepemimpinan Kim yang kuat di masa yang sulit ini. Secara internasional, Korea Utara ingin membuktikan, negara itu tidak memiliki kasus COVID-19 yang dikonfirmasi serta militernya bersedia dan mampu membela negara ketika dunia memasuki periode ketidakpastian yang lebih besar.”

APA LAGI YANG INGIN DICAPAI KIM JONG-UN?

Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un berjabat tangan selama pertemuan di Zona Demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan kedua Korea, di Panmunjom, Korea Selatan, 30 Juni 2019. (Foto: KCNA via Reuters)

Pakar Korea Jean H. Lee mengatakan selama pengarahan Korea Utara yang diselenggarakan oleh lembaga penelitian Amerika Serikat Wilson Center awal pekan ini tentang krisis pandemi COVID-19 secara global yang terjadi pada saat “ketidakpastian politik yang luar biasa” di Pyongyang.

Setelah setahun gagal dalam perundingan denuklirisasi, Kim telah memperingatkan Trump, ia memiliki waktu hingga 31 Desember untuk menyampaikan proposal terobosan untuk memulai kembali perundingan. Namun, tanggalnya datang dan pergi terlewatkan begitu saja, sementara negosiasi tetap macet.

“Untuk meletakkan segala sesuatunya dalam konteks, perlu diingat Kim Jong-un telah menempatkan begitu banyak risiko dalam hubungannya dengan Trump. Seperti yang kita tahu, hal itu tidak menghasilkan kesepakatan yang dia harapkan di Hanoi pada Februari 2019,” tutur mantan kepala biro The Associated Press di Pyongyang itu.

Lee mengatakan, Kim telah berusaha mencari cara untuk mendapatkan keunggulan dalam negosiasi dengan Amerika Serikat dan bagaimana dia akan mendapatkan kembali kepercayaan publik di dalam negeri. Dia mengaku percaya Kim ingin kembali ke negosiasi pada akhirnya, tetapi dengan posisi yang “jauh lebih kuat” daripada saat KTT Kim-Trump di Hanoi.

“Dia (Kim) ingin memiliki sedikit studi isolasi untuk melakukan beberapa pengujian dan membuat beberapa perbaikan, sehingga ketika dia kembali ke meja perundingan, dia berada di posisi yang lebih kuat.”

Lee menegaskan kegagalan negosiasi dengan Trump juga berarti pemimpin Korea Utara harus menemukan cara untuk menunjukkan kepada rakyatnya, ia berada di puncak.

Pada akhir tahun yang mencatat berbagai peluncuran roket dan uji coba rudal pada 2019, Kim menjanjikan kepada Amerika Serikat sebuah “hadiah Natal” yang misterius. Trump berseloroh, hadiah itu bisa jadi “vas yang indah”. Namun, banyak pejabat AS berspekulasi pada saat itu, “hadiah” itu bisa berupa uji coba senjata nuklir atau dimulainya kembali peluncuran rudal jarak jauh.

Menurut Profesor Zhu, hadiah itu dapat ditafsirkan dengan beberapa cara berbeda.

“Itu bisa jadi hadiah nyata perdamaian (tanpa uji coba rudal dan nuklir lebih lanjut) atau hadiah kontroversial untuk Trump. Para ahli militer menunjukkan, saat ini rudal Korea Utara termasuk ICBM (rudal balistik antar-benua) menggunakan sistem berbahan bakar cair, yang hanya dapat diisi bahan bakar sebelum penerbangan.”

“Namun, rudal yang baru-baru ini diuji ternyata menggunakan sistem berbahan bakar padat, yang jika berhasil, akan secara signifikan meningkatkan teknologi rudal dan nuklir Korea Utara. Negara itu akan menimbulkan ancaman yang lebih besar karena tidak akan ada peringatan ketika akan meluncurkan rudal. Ini semacam ‘hadiah’ yang tidak benar-benar diinginkan Trump.”

MENGAPA KOREA UTARA BERBOHONG SOAL STATUS BEBAS CORONA?

Menurut laporan ABC, Korea Utara berbagi perbatasan dengan dua negara paling terinfeksi di Asia: China memiliki lebih dari 83.000 kasus yang dikonfirmasi dan sekitar 3.350 kematian, sementara Korea Selatan mencatat sekitar 10.500 kasus dan lebih dari 220 kematian hingga Selasa (14/4) petang.

Korea Utara adalah salah satu negara pertama yang menutup perbatasannya dengan semua wisatawan asing pada Januari 2020, hanya beberapa minggu setelah virus misterius itu dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir Desember 2019. Perwakilan WHO untuk Korea Utara mengatakan pekan lalu, negara itu masih melakukan pengujian COVID-19 dan menempatkan lebih dari 500 orang di karantina, tetapi masih belum ada kasus positif yang dikonfirmasi.

Sensor yang tersebar luas di negeri pertapa itu bisa menyembunyikan laporan wabah. Namun, bahkan jika COVID-19 menyebar di sana, para ahli mengatakan Korea Utara sendiri mungkin tidak tahu sejauh mana infeksi atau kematian telah terjadi.

“Ini adalah permainan tebak-tebakan mengenai situasi pandemi di Korea Utara,” tutur Profesor Zhu.

“Bahkan pemerintah Korea Utara mungkin tidak tahu berapa banyak kasus di sana. Fakta mereka telah meminta bantuan dari negara lain dan banyak orang memakai masker di depan umum menunjukkan virus itu tengah menyebar. “Sistem kesehatan masyarakat Korut sangat rapuh dan mungkin tidak cukup lengkap untuk menghadapi pandemi semacam itu.”

Sebagai mantan kepala biro The Associated Press di Pyongyang, Lee secara langsung menyaksikan kondisi terbatas perawatan kesehatan di Korea Utara. Dia terakhir di negara itu pada 2017 dan telah mengunjungi banyak fasilitas kesehatan selama bertahun-tahun, mulai dari rumah sakit terkemuka di Pyongyang hingga klinik lokal yang dikelola oleh para wanita.

“Saya masih ingat satu klinik di mana dokter mengatakan kepada saya, mereka bahkan tidak punya obat untuk menghentikan diare dan diare adalah penyebab utama kematian di komunitasnya. Kita bisa memperkirakan dan membayangkan betapa sulitnya bagi mereka untuk mengatasi pandemi seperti COVID-19.”

Sementara salah satu langkah menjaga kesehatan utama yang dipromosikan di seluruh dunia adalah mencuci tangan dengan sabun dan air, Lee menyebutkan banyak fasilitas kesehatan tidak memiliki sabun atau bahkan air mengalir.

Namun, Korea Utara, yang dijatuhi beberapa sanksi internasional atas program uji coba nuklir dan rudal, telah meminta sejumlah bantuan terkait wabah virus corona baru. Rusia telah menyediakan 1.500 alat uji kepada Korea Utara atas permintaannya pada Februari 2020, menurut Kementerian Luar Negeri Rusia.

Menurut Profesor Zhu, sementara belum ada laporan publik tentang bantuan China, dia tidak akan terkejut jika negara itu telah mengirim pasokan medis ke Korea Utara.

“Sangat mungkin, COVID-19 menyebar dalam skala terbatas di Korea Utara, tetapi pemerintah tidak ingin menimbulkan kepanikan publik dengan secara terbuka mengakuinya,” tegas Profesor Zhu.

“Langkah drastis yang telah diambil sejauh ini (seperti menjadi negara pertama yang menutup perbatasan dengan China pada akhir Januari dan mengarantina semua diplomat) seperti permintaan bantuan dan kongres partai baru-baru ini menunjukkan pemerintah Korea Utara menyikapi sangat serius dan bertekad untuk membendung virus sebelum menyebar di seluruh negeri.”
UPDATE TERSEDIA LIVECHAT POKER757 
DENGAN VERSI ANDROID & IOS
KLIK DI BAWAH INI

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Di Balik Ambisi Kim Jong-un Luncurkan Rudal Saat Pandemi"

Post a Comment