Bermediasi- Marmer tak lantas membuat warga Desa Sagyin di Myanmar kaya raya. Mereka memang memiliki rumah berlantai marmer, namun berdinding anyaman bambu juga berkalang debu putih dengan risiko penyakit paru-paru.
Debu putih halus selalu menyelimuti sebuah desa di Myanmar utara itu.Bukan kabut, bukan pula asap, debu putih itu butiran marmer melayang-layang di udara.
Ya, desa itu Desa Sagyin, sebuah desa yang dikelilingi oleh enam bukit marmer. Makanya, pertambangan marmer tak ada matinya, jalan terus kendati saat pandemi virus Corona yang memaksa ekspor hasil pahatan marmer atau lempengan marmer berhenti total.
Debu putih itu tetap gentayangan di seluruh desa saat wabah COVID-19 karena warganya tetap bekerja. Sebagian besar mereka tak merasa harus memakai masker atau pelindung diri lainnya, baik untuk berlindung dari debu marmer atau ancaman terjangkit COVID-19.
Padahal, risikonya sangat besar, ancaman penyakit silikosis, penyakit paru-paru serius yang bisa mematikan. Juga batuk.Juga kini ditambah satu virus Corona.
Tapi, di antara anak-anak dan warga yang sudah berumur, pria dan wanita, cuma sedikit yang menyadari bahaya itu. Mereka bilang ,"merokok juga bisa bikin batuk".
Takdir Jadi Pemahat Marmer
Chin Win, salah satu warga yang relaks dengan kondisi itu. Dia santai saja saat debu putih itu juga menyelimuti Chin Win yang seorang pemahat sedang membungkuk di atas patung Budha setengah jadi.
"Kami diberkati untuk memahat Buddha," kata Chin Win di bengkel batu miliknya seperti dikutip Reuters.
Marmer memang menjadi sumber penghidupan di desa Sagyin. Berkalang debu putih, mereka membuat patung Buddha kolosal untuk dijual di kota terdekat Mandalay atau diekspor ke negara tetangga, China dan Thailand.
Marmer itu bukan sekadar sumber penghasilan, namun sebagian napas mereka. Marmer juga menjadi kawan akrab sejak bangun tidur bagi Chin Win dan tetangga di desa itu, tua muda, perempuan dan laki-laki. Untuk urusan kamar mandi dan berpesta.
"Kami tumbuh menghirup debu," kata Chin Win, 35, yang telah mengukir patung sejak ia berusia 11 tahun.
"Kami menggunakannya sebagai pasta gigi, untuk bedak sabun, lipstik," dia menambahkan.
Cuma satu yang berubah. Adalah cara membuat patung Budha dari marmer. Dulu batu itu dipahat dengan tangan. Sekarang, sebagian besar pekerjaan dilakukan dengan mesin.
Upah Murah
Tak cuma menjadikan warga Sagyin sebagai pemahat, bukit-bukit marmer itu memaksa penduduk di sana betul-betul bergantung dari marmer. Mulai dari pengangkut lempengan ke bawah bukit, mengukirnya menjadi patung, atau mengekspornya ke luar negeri.
Marmer Myanmar, yang berkisar dari putih murni hingga abu-abu kebiruan, dihargai karena keras dan teksturnya. Lempengan 45 ton dapat dijual seharga USD 40.000 atau setara dengan Rp 581 juta.
"Saya lahir di desa ini dan dari generasi ke generasi inilah yang kami lakukan: para lelaki bekerja pada ukiran marmer sedangkan para wanita bekerja di tambang marmer atau memoles patung-patung marmer," kata Mya Lay (25) di rumahnya yang berdinding anyaman bambu namun memiliki lantai dari marmer.
Mya Lay memiliki pengalaman panjang sebagai pembawa lempengan marmer besar dari tambang. Dia menjalaninya setiap hari dari pagi hingga matahari terbenam. Biasanya, Mya Lay mendapatkan upah USD 3,50 atau sekitar Rp 51 ribu per hari.
"Jika saya bisa, saya akan meninggalkan desa dan mencari pekerjaan di kota," kata Mya Lay.
Upah itu dirasa amat kecil. Andai memiliki pilihan dia ingin mendapatkan pekerjaan dengan upah yang lebih layak untuk kehidupan putrinya yang lebih baik.
Abai Kesehatan
Kyi Khaing, seorang pemilik bengkel, menyadari risiko kesehatan yang mengancam warga setempat. Tapi, dia bilang sebagian besar penduduk Desa Sogyin terlalu miskin untuk khawatir tentang kesehatan mereka.
"Saya pikir debu marmer tidak aman, tetapi kebanyakan orang di sini hanya fokus pada kelangsungan hidup, daripada kesehatan mereka," kata Kyi Khaing.
Malah, ditutupnya perbatasan karena virus Corona dinilai sebagai keputusan yang lebih membahayakan warga Desa Sogyin. Soal kesehatan, Myanmar hanya melaporkan 299 kasus virus, dan enam kematian, tetapi perdagangan dengan China, yang membeli sebagian besar patung Sagyin, telah terkena dampaknya.
Penutupan perbatasan antara kedua negara berarti Kyi Khaing, 49, tidak dapat mengekspor dagangannya.
"Produk tak ke mana-mana. Saya belum bisa mengirimkannya ke mana-mana. Pembeli juga berhenti datang," ujar dia.
Tapi, Kyi Khaing yakin marmer akan terus menjadi sumber kehidupan warga Desa Sogyin. Dia bilang marmer di sana tak akan habis.
"Saya percaya sampai saya mati kami masih akan memiliki marmer di sini," katanya.
"Di mana pun kami menggali, ada batu marmer yang kami dapatkan," dia menambahkan.
0 Response to "Ironi Rumah Anyaman Bambu dengan Lantai Marmer di Desa Sogyin"
Post a Comment